Skip to main content

Perjuangan Tujuh Hari

Sudah satu bulan hubunganku dengan Magnus berakhir. Satu bulan yang sangat berat bagiku. Aku ingin sekali menghubunginya, tapi takut dia tidak akan mau menanggapiku. Ini benar-benar membuatku muak! Seharusnya aku tidak menemui vampir itu. Aku seharusnya tidur dan bersantai dengan Magnus di apartemennya. Aku ingin membunuh vampir sialan itu, tapi sayangnya vampir kecil itu telah mendahuluiku. Sampai sekarang aku masih tidak menyangka vampir setua Camille dapat dibunuh oleh vampir muda seperti Maureen.

“Alec?” Izzy membuka pintu kamarku.

“Apakah kau tidak bisa mengetuk terlebih dahulu?” tanyaku sambil memejamkan mata.

“Oh, ayolah. Biasanya juga kau tidak pernah marah kepadaku kalau aku masuk ke kamarmu tanpa mengetuk. Aku tahu sekarang kau lagi sensitif karena kau baru putus dengan pacarmu yang tercinta itu. Bersikaplah dewasa sedikit.”

“Aku rasa kau harus keluar dari kamarku, Iz.”

“Alexander Lightwood,” ia berjalan mendekatiku dan menarikku hingga aku terduduk.

“Isabelle,” aku memberontak.

“Alec, aku tahu kau sedang patah hati, tapi kau tidak perlu bertindak layaknya duniamu sudah berakhir. Move on, please. Kau itu delapan belas tahun. Kau bisa mencari yang lebih dari Magnus,” kata-kata itu seperti menusukku.

“Izzy!” aku setengah berteriak.

“Alec, aku hanya memberitahu yang sebenarnya, itu fakta. Aku mengatakan ini sebagai adik yang memberikan dukungan buat kakaknya.” Dia berbalik.

“Bagaimana kalau pacarmu memutuskanmu? Simon, tentu saja,” aku bertanya.

Izzy berhenti. “Kami tidak berpacaran.”

“Jangan berbohong. Aku tahu yang sebenarnya. Kau tidak perlu merahasiakan itu.” Aku tahu kalau Izzy dan Simon memang berpacaran karena ia tidak henti-hentinya berbicara mengenai pacar barunya.

Izzy tidak menjawab. Ia hanya berdiri memunggungiku. “Akui sajalah, Iz,” ucapku masih menunggu jawaban darinya.

Isabelle berjalan menuju pintu. “Aku ke sini bukan untuk berdebat tetapi untuk mengajakmu makan malam.”

“Sudah kubilang ratusan kali, aku tidak mau makan jika kau yang memasak.” Izzy sudah keluar dari kamarku.

“BUKAN AKU YANG MEMASAK!” teriak Izzy dari luar.

Aku terkekeh dan langsung berganti pakaian. Aku berjalan menyusuri koridor institut menuju ruang makan. Aku bertemu Jace dan Clary.

“Wah, lihat siapa yang akhirnya keluar dari sarangnya?” Jace mengeluarkan cengiran khasnya.

“Diamlah, Jace,” Clary memperingatkan. “Kau tidak apa, Alec?”

Aku menatap Clary lama. Kenapa aku dulu sangat membencinya? Aku seharusnya tidak membenci gadis yang sangat baik ini. Ya itu benar, dulu aku cemburu dengannya.

“Aku baik, Clary. Terima kasih sudah bertanya,” aku memaksakan senyumku keluar.

“Baiklah kalau begitu. Aku tahu perasaanmu sekarang, tapi aku sarankan jangan berlarut-larut. Itu tidak baik untukmu,” lanjut Clary.

“Terima kasih sarannya,” hanya itu yang terucap.

Clary kembali tersenyum. “Sampai ketemu lagi, Alec.” Kemudian dia menuju elevator diikuti oleh Jace yang badannya masih bercahaya. Aku tidak perlu bertanya mengapa Clary tidak ikut makan malam bersama kami, mamanya pasti menginginkan Clary untuk makan malam bersama keluarganya. Seperti yang kami lakukan. Aku kembali berjalan menuju ruang makan. Di sana sudah berkumpul mama, papa, dan Izzy. Aku duduk di sebelah Izzy. Raut wajahnya menunjukkan kalau ia masih kesal denganku.

Papa sudah kembali berkumpul bersama kami. Walaupun ia sudah kembali, tetapi masih ada saja celah di antara kami. Aku ingin keluarga kami utuh. Utuh seperti ketika masih ada Max di tengah keluarga ini, yang selalu membawa kecerian.

“Wah, wah. Kenapa kalian tidak makan? Lagi pula ini bukan Izzy yang memasak,” Jace bergabung dengan kami. Aku melihat Izzy melotot ke arah Jace, tapi Jace tidak memperdulikan.

Makan malam terasa sangat berbeda. Seharusnya aku mengurung diri di kamar selama makan malam atau aku seharusnya makan di Taki.

“Alec,” Jace memanggilku, aku berbalik. “Ya?”

“Clary benar soal jangan terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Kau tahu? Kau terlihat sangat kacau,” Jace menambahkan.

“Terima kasih atas saran dan pujiannya,” aku mengangguk.

“Alec,” kali ini ekspresinya serius, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Kulitnya masih mengeluarkan cahaya. “Cinta harus diperjuangkan.” Kemudian Jace pergi meninggalkanku begitu saja.

Aku masih berdiri di tempatku untuk beberapa menit dan merenungkan kata-kata Jace yang terakhir, cinta harus diperjuangkan. Jace benar. Cintaku harus diperjuangkan. Aku tahu minta maaf saja tidaklah cukup. Aku harus bertindak yang lain. Oh, Jace, terima kasih.


***

Keesokan harinya aku pergi menuju apartemennya Magnus. Aku pergi pada pagi hari sehingga penghuni institut belum bangun. Perjalanan ke apartemen Magnus terasa sangat panjang. Dalam perjalanan aku terus memikirkan apa reaksi Magnus terhadap kedatanganku ini. Aku telah sampai di depan pintu apartemen Magnus, aku menekan belnya dan menunggu. Aku harap Magnus ada di dalam.

“Siapa pagi-pagi yang berani membangunkan….”

“Magnus, ini aku,” aku menjawab.

Hening.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Magnus.

“Aku, aku mau berbicara denganmu,” hanya itu yang bisa kukatakan.

“Aku rasa sudah tidak ada yang mau dibicarakan lagi, Alec,” suara Magnus terdengar ketus.

“Tapi aku harus berbicara denganmu,” suaraku memohon.

“Tidak ada waktu,” Magnus memutuskan percakapan kami.

Magnus masih tidak mau bertemu dan berbicara denganku. Aku tahu Magnus masih marah padaku. Suaranya menunjukkan itu. Besok aku akan ke sini lagi. Tidak ada kata menyerah di dalam kamusku jika aku belum mendapatkan apa yang kuinginkan.


***

Usaha kedua untuk pendekatan kembali dengan Magnus. Kembali menuju apartemennya membuatku teringat kejadian kemarin pagi. Apakah aku nanti akan dicampakkan lagi seperti kemarin? Semoga saja tidak. Aku menekan belnya dan menunggu adanya tanggapan. Tidak ada tanggapan sama sekali. Aku menekan lagi, lagi, dan lagi. Masih tidak ada tanggapan. Apa Magnus tidak berada di apartemen? Aku mencoba menekan sekali lagi.

“Kalau kau berani menekan bel itu sekali lagi, aku akan mengubahmu menjadi marmut berkaki delapan,” desis Magnus melalui interkom.

“Magnus, ini aku lagi,” kataku.

Magnus mendesah. “Ada apa, Alexander?”

“Aku hanya ingin bicara denganmu, Magnus. Aku ingin mengetahui kabarmu.”

Detik demi detik berlalu, tidak ada jawaban sama sekali darinya. Aku masih menunggu.

“Kabarku baik, sekarang pulanglah.” Kemudian Magnus memutuskan percakapan kami. Lagi. Sial, untuk kedua kalinya aku diperlakukan seperti ini. Hari ini aku pulang dengan tangan hampa.


***

Hari ketiga maupun keempat tidak membuahkan hasil. Magnus tidak berada di apatermennya. Mungkin dia tahu kalau aku akan ke sana lagi, sehingga dia memilih untuk menghindariku. Tapi di hari selanjutnya aku kembali ke sana. Aku tidak akan berhenti sampai aku bertemu dengannya. Aku menekan belnya. Sudah tidak terhitung berapa kali aku menekan bel ini dalam beberapa hari terakhir.

“Alexander, sampai kapan kau menggangguku?” terdengar suara Magnus dari interkom.

“Kau tahu ini aku?” tanyaku terkejut.

“Tentu saja aku tahu, siapa lagi yang setiap hari tanpa henti selalu menggangguku?” Magnus terdengar kesal.

“Dengar kita perlu bicara,” aku memulai. “Bertatapan langsung,” aku menambahkan. Magnus tidak menjawab. Akhirnya, aku berkata, “Aku tahu kesalahanku sangat besar bagimu dan itu tidak dapat ditebus hanya dengan meminta maaf saja. Akan aku lakukan apapun untuk menebus kesalahanku itu, asalkan kau mau bertemu denganku lagi. Kau tahu? Aku hancur. Baru kali ini aku merasa hancur berkeping-keping. Hidupku sangat hampa tanpamu, Magnus.”

Keheningan menjalar di antara kami.

“Kau mendengarkan aku? Sialan, Magnus!” aku berteriak.

“Ya, aku mendengarkan. Sekarang pulanglah. Bukankah kau harus membantu mencari jejak Sebastian? Teman-teman pemburu bayanganmu itu pasti membutuhkan bantuanmu, Alec,” Magnus menceramahi. “Pergilah, aku tidak mau berbicara denganmu lagi.” Magnus pun menyudahi percakapan kami.

Cinta harus diperjuangkan. Apakah sesulit ini memperjuangkan cinta? Aku tidak mau menyerah begitu saja. Aku masih mempunyai banyak waktu yang terbentang di depanku untuk memperjuangkannya.


***

“Kau mau ke mana? Kau mau pergi ke tempat Magnus? Tidak cukupkah kau dicampakkan setiap hari olehnya?” Izzy bertanya kepadaku.

“Diamlah. Kadang-kadang keingintahuanmu itu dapat membunuhmu secara langsung,” aku mengabaikannya.

“Wah, kau pasti belajar itu langsung dari Jace,” Izzy masih terus mengikutiku.

“Berhenti mengikutiku. Kenapa kau tidak pergi saja dengan pacar barumu, Simon,” aku menggerutu. Izzy hendak membantah, tapi aku menambahkan, “Sudahlah tidak perlu membantah. Aku tahu, Iz,” kemudian aku meninggalkannya sendirian.

Aku kembali berjalan menuju apartemennya Magnus. Ketika aku sudah hampir tiba, sesuatu menghentikan langkahku. Aku bersembunyi agak jauh dari apartemennya, sehingga Magnus tidak dapat melihatku.

Aku dapat melihat Magnus dari jarak yang lumayan jauh, ia sedang berbicara dengan seorang gadis. Magnus terlihat sedikit lelah, apa yang membuatnya begitu lelah? Gadis itu terlihat cantik dan kuperkirakan umurnya tidak jauh beda dari Izzy. Siapa dia? Apa dia pacar baru Magnus? Tidak. Aku harus mengenyahkan pikiran itu dari otakku.

Rambut gadis itu berwarna coklat, lumayan tinggi untuk gadis seumurannya. Aku tidak melihat tanda-tanda rune di kulitnya, jadi dia tidak mungkin seorang pemburu bayangan. Aku juga tidak melihat tanda-tanda warlock, artinya dia juga bukan warlock. Aku perhatikan lagi lebih seksama, ia terlihat seperti fana biasa. Tapi, mengapa ia bisa mengenal Magnus? Apa yang dibicarakan mereka sebenarnya? Aku melihat Magnus dan gadis itu menyudahi percakapan mereka. Magnus kembali masuk ke dalam. Aku rasa hari ini tidak ada kesempatan untuk bertemu dengannya.

Aku berjalan menjauh dan suara seseorang menghentikan langkahku.

“Halo, Alec,” aku berbalik dan menemukan gadis yang sedang berbicara dengan Magnus tadi berdiri di depanku.

“Aku tahu kau tadi memperhatikan kami,” dia tersenyum. Aku terkejut karena dia tadi dapat melihatku. Padahal aku sudah berusaha untuk bersembunyi sebaik mungkin.

“Tenang saja, Magnus tidak tahu. Aku tidak memberitahunya.”

“Kau siapa?” aku bertanya dan pertanyaan itu sedikit tidak sopan.

Dia tersenyum kembali. “Aku temannya. Aku sudah mengenal Magnus cukup lama. Aku juga tahu masalah di antara kalian. Dia perlu sendirian untuk sementara, Alec.”

Apa sebenarnya hubungan di antara mereka?

Dia memiringkan kepalanya. “Kau mengingatkanku kepada seseorang. Sampai jumpa lagi, Alec.” Kemudian gadis itu pergi.

“Siapa dia?” Jace berdiri di sampingku.

“Sedang apa kau di sini?” tanyaku terkejut.

“Jangan jawab pertanyaan dengan pertanyaan,” kata Jace.

“Aku tidak tahu,” aku memang tidak tahu, dia tidak menjawab ketika kutanya siapa tadi.

“Aku kira dia pacar barumu. Jujur, dia cantik dan cocok untukmu,” Jace mengedipkan sebelah matanya.

Aku memutar bola mataku. “Apa yang kau lakukan di sini? Kau bisa menarik perhatian banyak orang,” aku meliriknya dari atas hingga bawah.

“Bukankah aku senang jadi pusat perhatian?” dia tertawa.

“Sudahlah,” kemudian aku dan Jace berjalan pulang ke institut bersama-sama.


***

Sudah tujuh hari lamanya aku berusaha untuk menemui Magnus, tapi tidak ada yang membuahkan hasil. Mungkin benar kata gadis itu, Magnus membutuhkan waktu.sementara. Akhirnya, aku memutuskan untuk meninggalkan surat untuknya. Ketika hendak meninggalkan pesan itu, pintu terbuka dan seketika itu jantungku terasa berhenti.

“Kau tidak akan berhenti sampai kau mendapatkan apa yang kau mau?” Magnus bertanya kepadaku.

Aku menatapnya lama. Demi malaikat, aku sangat merindukannya. “Kau tahu aku akan datang?” tanyaku.

“Aku selalu tahu ketika kau berada di dekatku.”

Aku menelan kegugupanku. “Sebenarnya aku hanya ingin meninggalkan surat ini,” aku melambaikan surat itu. “Tapi kau sudah ada di depanku, jadi mari kita bicara. Mungkin ini terakhir kalinya kau akan melihatku karena setelah ini aku tidak akan mengganggumu kembali,” aku menarik napas panjang. “Aku mau bertanya sesuatu, pertanyaan ini selalu mengusikku.” Magnus masih menunggu. “Apa kau masih mencintaiku?” akhirnya kata-kata itu keluar dari tenggorokanku.

Ia menghembuskan napas panjang, “Waktu itu aku sudah memberitahumu, Alec.” Dia berhenti, kemudian melanjutkan, “Aku masih mencintaimu. Selalu.”

Ketika mendengar itu aku merasa ada sesuatu yang berat meninggalkanku. Tentu saja di masih mencintaiku. Bodohnya diriku. Dia sudah memberitahukan itu sebelum perpisahan yang menyedihkan itu.

“Aku mengakui kalau aku merindukanmu, Alexander. Tapi itu tetap tidak mengubah apapun. Kita tidak bisa kembali seperti dulu,” Magnus terlihat muram.

“Aku juga merindukanmu, Magnus. Aku tahu itu, tapi tak bisakah kita menjadi teman biasa?” semoga ia mau menjawab pertanyaanku.

Magnus tampak seperti berpikir. “Aku berjanji aku tidak akan mengungkit-ungkit masa lalu kita dan juga,” aku berhenti sebentar. “Aku bersama teman-temanku tidak akan pernah memanfaatkanmu. Aku bersungguh-sungguh.”

Magnus masih merenung lama. “Baiklah. Teman,” Magnus mengangguk. Tiba-tiba saja sudut-sudut bibirku terangkat. “Terima kasih. Aku….” Telepon genggamku berdering. Sial, siapa yang menelpon di saat seperti ini.

“Halo,” aku tetap memfokuskan pandanganku kepada Magnus, takut dia akan menghilang jika aku memalingkan wajahku.

“Alec,” itu Izzy. “Kami menemukan keberadaan Sebastian. Sebenarnya kami belum pasti apakah itu benar dia, tapi kita harus mengeceknya sendiri. Segera ke sini atau kami akan meninggalkanmu.”

“Kalian menemukannya?” aku bertanya.

“Jangan banyak bertanya, segeralah ke institut dan bersiap-siap,” Izzy menutup teleponnya.

“Aku rasa kau harus pergi,” Magnus memberitahuku.

“Aku tahu,” aku harus bicara tentang hal ini kepadanya atau tidak sama sekali. “Magnus, maukah kau menemaniku ke Indonesia? Tentu saja setelah urusan dengan Sebastian ini selesai dan setelah kau punya banyak waktu luang,” aku menunggu jawabannya.

“Alec.” Sepertinya dia akan menolak. Aku harus cari strategi lain.

“Aku tau kau akan menolak. Tapi tolong pertimbangkanlah. Aku perlu seorang teman yang mungkin tahu tentang Indonesia dan kurasa kau orang yang tepat. Kau pasti sudah pernah mengunjungi Indonesia,” jelasku.

“Kenapa kau mau ke sana?” Magnus bertanya kembali.

“Aku hanya ingin mengunjungi tempat-tempat baru yang indah. Aku tahu Indonesia salah satu negara yang indah dan aku ingin mengunjunginya. Lagi pula aku sudah pernah ke Eropa dan negara-negara lain. Aku mau cari tempat yang baru, Indonesia tempat yang tepat,” dan Indonesia juga merupakan tempat kelahiranmu, tapi aku tidak mengatakan itu. “Tentu saja sebagai teman. Tidak lebih,” aku cepat-cepat menambahkan.

“Aku akan memikirkannya. Sekarang pulanglah dan bantu teman-temanmu,” Magnus hendak menutup pintu, tapi aku menahannya. “Tunggu Magnus,” Magnus menatapku. “Terima kasih karena kau mau menemuiku.”

“Sama-sama,” jawabnya. Kemudian pintu tertutup.

Aku memasukkan surat yang tadinya hendak kuberikan kepada Magnus ke dalam saku. Hari ini begitu indah. Setelah satu minggu berjuang untuk bertemu dengannya, akhirnya aku bertemu dengannya hari ini. Aku tersenyum memikirkan percakapan kami barusan. Menjadi teman merupakan awal bagiku. Walaupun cuma teman, setidaknya hubunganku dengan Magnus sedikit lebih baik, tidak seperti waktu kami berpisah. Ditambah dia akan mempertimbangkan ajakan untuk menemaniku ke Indonesia. Usahaku tidak akan berhenti sampai di sini. Aku akan selalu berusaha sehingga kami bisa bersama seperti dulu.

Aku berlari menuju institut untuk segera membantu menemukan Sebastian, diikuti matahari yang terbenam sangat indah di belakangku.


Comments

Popular posts from this blog

Big Bad Wolf 2017 Preview Sale

Event buat para pecinta buku datang lagi di tahun ini dengan membawa lebih banyak buku. Saya pun mendapat kesempatan yang (gak begitu) langka untuk menghadiri preview sale BBW. Preview sale ini diadain satu hari sebelum event dibuka untuk umum (20 April). Ada 2000 tiket VIP yang dibagikan dari beberapa jalur, salah satunya blogger/vlogger. Nah saya dapet dari jalur ini. Seneng dong ya dapet tiket VIP, apalagi bisa belanja duluan. Tapi apa daya, ekspektasi beda banget sama realita. Saya udah excited banget buat dateng ke preview sale. Saya sama temen saya pergi bareng dan kita sampai di ICE sekitar pukul 2 siang dan pulang pukul 9 malem. Kita bukan lama nyari buku loh, tapi lama pas ngantri. Saya cuma keliling cari buku inceran selama kurang lebih 2 jam dan sisanya nunggu antrian. Bisa dibayangkan berapa lama kita nunggu cuma buat bayar buku-buku yang dibeli yang jumlahnya gak sampe 10 buku.  Saya kebanyakan keliling di bagian fiction dan hanya sebentar mampir di non-fi

Review: One of Us is Lying (Satu Pembohong) - Karen M. McManus

Judul : One of Us is Lying (Satu Pembohong) Penulis : Karen M. McManus Penerjemah : Angelic Zaizai Penyunting: Mery Riansyah Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Tebal : 408 halaman Genre : Young Adult, Mystery Harga : Rp 89.000 Blurb Senin sore, lima murid memasuki ruang detensi. Bronwyn , si genius , nilai akademis sempurna dan tidak pernah melanggar peraturan. Addy , si cewek populer , gambaran sempurna pemenang kontes kecantikan. Nate , si bandel , dalam masa percobaan karena transaksi narkoba. Cooper , si atlet , pelempar bola andalan tim bisbol dan pangeran di hati semua orang. Dan Simon , si orang buangan , pencipta aplikasi gosip terdepan mengenai kehidupan Bayview High . Namun sebelum detensi berakhir, Simon tewas. Menurut para penyidik, kematiannya disengaja. Apalagi kemudian ditemukan draft artikel gosip terbaru untuk ditayangkan pada Selasa, sehari setelah kematian Simon. Gosip heboh tentang empat orang yang berada dalam ruangan detensi bersamanya. Mereka be

Patch’s Lost Letter to Nora

Bagi kalian yang udah baca Finale, yuk di baca surat Patch yang ditujukan ke Nora. Isinya romantis pake banget deh! Surat ini di posting oleh Becca di blog-nya sebagai hadiah Valentine tahun lalu. Enjoy. :) My Angel,   My greatest hope is that you never have to read this. Vee knows to give you this letter only if my feather is burned and I’m chained in hell, or if Blakely develops a devilcraft prototype strong enough to kill me. When war between our races ignites, I don’t know what will become of our future. When I think about you and our plans, I feel a desperate aching. Never have I wanted things to turn out right as much as I do now.   Before I leave this world, I need to make certain you know that all my love belongs to you. You are the same to me now as you were before you swore the Changeover Vow. You are mine. Always. I love the strength, courage, and gentleness of your soul. I love your body, too. How could someone so sexy and perfect be mine? With you I have purpose – s